Wednesday, May 19, 2010

Semiotik, oleh Kurnia Setiawan S.Sn, M.Hum, C.Ht

Pada kelas kapita kali ini Pak Kurnia membahas mengenai semiotik. Di awal kuliah Pak Kurnia menjelaskan tentang adanya perbedaan makna dan persepsi dari tiap orang terhadap suatu peristiwa apabila suatu kejadian yang sama diungkapkan dengan cara yang berbeda. Pembahasan tersebut berkaitan dengan bidang ilmu yang akan di bahas pada kali ini yaitu ilmu Semiotik.

Semiotik merupakan suatu ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaaan berfungsi untuk menggali sebuah makna. Istilah Semiotik berasal dari kata Yunani seme; semeiotikos; penafsir tanda yang berarti ‘tanda’‘sign’ dalam bahasa Inggris, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Perintis awal semiotika adalah Plato yang memeriksa asal muasal bahasa.

Dalam kajian ilmu semotik, tanda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanda alami (natural) dan tanda yang disepakati (konvensional). Tanda alami (natural) merupakan tanda yang hamper dikenali oleh setiap manusia seperti contohnya mendung. Merupakan gejala alam atau tanda alam yang diketahui oleh setiap manusia. Berbeda dengan tanda yang disepakati (konvensional) contoh menggelengkan kepala bagi orang Indonesia menandakan tidak mau tetapi bagi orang dari bangsa India makna menggelengkan kepala punya arti yang berbeda yakni mengiyakan sesuatu.

Selain plato terdapat pula beberapa ilmuwan yang juga meneliti tentang kajian ilmu yang berhubungan dengan tanda, dan masing-masing memiliki persepsi tersendiri tentang kajian ilmu mengenai semiotik atau tanda.
1.St. Agustinus (354 – 430) mengembangkan teori tentang signa data (tanda konvensional). Persoalan tanda menjadi obyek pemikiran filosofis. Studi dibatasi mengenai hubungan kata fisik berhubungan dengan kata mental.
2.William of Ockham, OFM (1285 – 1349) mempertajam studi tanda. Tanda dikategorikan berdasarkan sifatnya. Apakah ia di alam mental dan bersifat pribadi, ataukah diucapkan/ ditulis untuk publik.
3.John Locke (1632 – 1740) melihat eksplorasi tentang tanda akan mengarah pada terbentuknya basis logika baru. Hal ini tertuang dalam karyanya “An Essay Concerning Human Understanding (1690)”.

Sebab pada mula Ilmu Semiotik berkembang hanya pada lingkup pemaknaan teks saja maka semiotik juga dikenal dengan istilah Semiology.

Ferdinand de Saussure (1857 – 1913)
Semiology pertama kali di Konsep semiologi diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857 – 1913), Berasal dari Swiss yang mengajar sansekaerta dan liguistik sejarah. Pendekatan Saussure tentang bahasa berbeda dari pendekatan filolog abad 19, dia mengkaji liuistik secara sinkronik,
bukan diakronik.Catatan diterbitkan dalam buku oleh muridnya ”Cours de Liguistique Generale”. Saussure mendefinsikan tanda liguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebut penanda (signifier); Sisi kedua adalah petanda (signified).
• Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).
• Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
• Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.
• Tanda liguistik (antara penanda dan petanda) bersifat arbitrer
o Konsep tantang anjing tidak harus dibangkitkan oleh penanda dalam bentuk bunyi a/n/j/i/n/g; karena bagi orang Inggris pengertian anjing diperoleh melalui kata “dog”.
• Terhubungnya sebuah penanda dan petanda hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sistem relasi atas kesepakatan (konvensi).
• Tanda dapat bekerja karena ada difference, artinya dia dapat dibedakan dengan tanda – tanda lainnya.
• Fenomena bahasa dibentuk oleh dua faktor; parole – ekspresi kebahasaan dan langue – sistem pembedaan di antara tanda – tanda. Struktur konsepsi dasar tentang langue berkaitan dengan kombinasi dan substitusi elemen – elemen bahasa (hubungan paradigmatik-sintagmatik.

Charles Sanders Peirce (1839 – 1914)
Seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Ia mengembangkan Teori tanda yang dibentuk oleh tiga sisi;
1.Representamen (tanda)
2.Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda)
3.Interpretant (efek yang ditimbulkan;hasil), ada 3 yaitu, immediate interpretant (makna pertama), dynamic interpretant (makna dinamis), final interpretant (makna akhir)

Peirce memperkenalkan sifat dinamisme internal dalam tanda. Interpretant yang tersamar memungkinkan ia menjelma menjadi tanda baru (rantai semiosis).
Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu:
- Sintaksis mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan.
- Semantik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana.
- Pragmatik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda.

Roland Barthes (1915 - 1980)
Berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Tulisan – tulisan pada majalah Prancis “Les Letters Nouvelles”, membahas ‘mitologi’ bulan ini. Menunjukan bagaimana aspek denotatif tanda – tanda dalam budaya pop yang menyingkap konotatif (mitos – mitos) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.

Semiologi Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
“Mitos – mitos yang menyelimuti hidup kita bekerja sedemikian halus, justru karena mereka terkesan benar – benar alami. Dibutuhkan sebuah analisis mendalam, seperti yang dilakukan oleh semiotika.”

Barthes mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, berbeda dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

No comments:

Post a Comment